Diigut layat, dibuang sayang. Itulah peribahasa dalam bahasa Banjar untuk menyatakan situasi yang dilematik. Situasi yang sering sekali kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di lingkungan sekolah dengan siswa yang beragam. Ada banyak hal yang terkadang jika dibiarkan akan membawa resiko, namun jika ditindak tegas juga akan berimbas pada hal lain.
SMP Negeri 1 Kandangan telah menetapkan peraturan bahwa melarang siswanya memakai kendaraan bermotor ke sekolah. Hal ini karena mereka belum cukup umur untuk memiliki SIM. Karenanya, sekolah meminta para orang tua agar mengantar jemput anaknya ke sekolah. Selain itu, siswa bisa menggunakan sepeda, selain lebih sehat, bebas polusi, juga lebih aman. Namun bagi siswa yang jarak rumahnya jauh, hal ini tidak disarankan.
Beberapa waktu lalu ada sebuah laporan dari masyarakat lingkungan masjid Istiqamah yang berada di depan sekolah. Bahwa ada siswa yang memarkir kendaraan bermotornya di lingkungan masjid. Sekolah tentu saja menyikapi ini dengan segera. Adanya laporan ini menandakan perhatian masyarakat pada sekolah sangat besar. Pihal sekolah kemudian memanggil siswa yang memarkir kendaraannya sembarangan tersebut. Ia ditanya alasan menggunakan kendaraan bermotor sedang aturan sekolah jelas. Ia menjawab bahwa orang tuanya tidak bisa mengantar jemput karena mereka sibuk bekerja. Jadi ia harus berangkat sendiri. Ternyata ada banyak siswa yang mengalami keadaan ini.
Hal ini tentu saja sedikit dilematis bagi sekolah. Terutama bagi saya. Saya langsung merasakan ini dilema etika. Saya teringat tentang sembilan langkah pengambilan keputusan. Dari awal sudah bisa dilihat bahwa kasus ini adalah dilemma etika. Jika mengizinkan mereka menggunakan kendaraan bermotor maka akan banyak siswa lain yang ikut ikutan menggunakan kendaraan bermotor, meskipun orang tuanya bisa mengantar. Jika dilarang, maka mereka tidak bisa bersekolah karena tidak ada yang mengantar.
Pada uji legal. sebenarnya ada hukum yang mereka langgar. Yaitu merkea menggunakan kendaraan bermotor tanpa surat-surat yang lengkap. Karena ketiadaan SIM. Namun fakta bahwa siswa harus terus bersekolah adalah dasar paling utama.
Rapat pun diadakan guna membahas masalah ini. Karena tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Sekolah kemudian memutuskan bahwa bagi orang tua yang tidak bisa mengantar maka anaknya diizinkan untuk menggunakan kendaraan bermotor. Dengan catatan bahwa harus melengkapi kendaraannya dengan STNK, memakai helm dengan baik, tidak menggunakan kendaraan yang dimodifikasi, serta memarkir di tempat yang semestinya. Karena sekolah tidak bertanggung jawab jika kendaraan bermotor siswa hilang karena kelalaian mereka yang memarkir sembarangan.
Kini, semakin banyak siswa yang menaiki kendaraan bermotor ke sekolah. Namun setidaknya, ada pendidikan tentang tertib berlalu lintas dan berkendara yang aman yang telah diketahui siswa. Sekolah terus menggencarkan himbauan agar orang tua tetap mengantar jemput anaknya, namun juga memberi sosialisasi tentang tertib berlalu lintas. Semoga ke depannya kesadaran siswa semakin baik. Karena mereka akan menjadi bagian dari masyarakat.
Untuk saya pribadi, pelajaran yang saya ambil adalah bahwa saya harus terus belajar agar terbiasa menjalankan 9 langkah pengambilan keputusan ini. Karenanya saya mencetaknya, dan menempelnya di meja kerja agar senantiasa terlihat dan bisa saya laksanakan.